Kamis, 12 Februari 2009

pengaruh politik etis terhadap pendidikan di indonesia


Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak negara yang pernah merasakan menjadi jajahan dari bangsa lain. Hal ini disebabkan indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, khususnya rempah-rempah yang pada waktu itu menjadi barang yang dibutuhkan di negara-negara Eropa. Pada mulanya mereka datang ke indonesia hanya untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, namun karena mereka melihat indonesia memiliki potensi alam yang besar yang dapat menghasilkan keuntungan maka niat mereka berubah menjadi ingin menguasai.

Bangsa penjajah yang datang pertama kali adalah Portugis yang menginjakkan kakinya di tanah air, tepatnya di Maluku pada tahun 1511 kemudian akhirnya meninggalkan indonesia pada 1576, sedangkan Belanda datang pertama kali ke indonesia lewat pelayaran yang dipimpin oleh Cornelis de houtman pada tahun 1595 dan meninggalkan indonesia 3,5 abad sesudahnya. Dari sela-sela pendudukan Belanda, Inggris menguasai indonesia dari tahun 1811 sampai tahun 1816. Kemudian kekuasaan kembali diserahkan ke Belanda sampai akhirnya indonesia diserahkan pada jepang tahun 1942. Hal ini disebabkan Belanda tak bisa melakukan perlawanan terhadap pasukan jepang yang datang ke indonesia dari berbagai wilayah.

Dari mulai negara Portugis, Belanda, Inggris, dan jepang. Maka Belanda adalah negara yang paling lama pernah menjajah Indonesia. Dalam masa penjajahan yang panjang tersebut negara kita menjadi objek eksploitasi besar-besaran, baik itu yang bersifat sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Eksploitasi tersebut memberi keuntungan bagi negara Belanda dan musibah bagi negara kita. Eksploitasi tersebut seperti monopoli yang dilakukan Belanda terhadap perdagangan rempah-rempah atau hasil bumi lainnya semisal kopi. Serta eksploitasi sumber daya manusia, yang sangat menyengsarakan rakyat indonesia adalah tanam paksa atau cultuur stelsel, yang pada kemudian hari sistem ini menjadi penyebab lahirnya Politik Etis.

Sistem culturestelsel ini di ciptakan oleh Gubernur Jendral Van den Bosch dan diterapkan selama 40 tahun, yakni dari tahun 1830 sampai 1870. sistem ini dijalankan untuk mengatasi keadaan keuangan Belanda yang memburuk sebagai akibat dari perang Belgia dan perang Diponegoro. Maka Belanda memanfaatkan pulau jawa yang memiliki potensi pertanian untuk menghasilkan produk-produk yang dapat dijual di pasaran dunia. Sistem pertanian tersebut dijalankan secara paksa. Rakyat pribumi diharuskan membayar pajaknya dalam bentuk hasil yang dapat di jual sebagai ekspor. Hasil pertanian tersebut dikirim ke Belanda untuk di jual ke pasaran dunia, hal ini dilakukan untuk mendapat kesan bahwa negara Belanda adalah pusat perdagangan hasil negara tropis.

Sistem ini dijalankan dengan aturan-aturan tertentu, yakni setiap desa harus menanami 1/5 dari tanahnya dengan jenis tanaman yang hasilnya dapat di ekspor dengan mendapat kebebasan bayar pajak tanah; Setiap kelebihan hasil tanaman dari jumlah pajak yang harus dibayar, dibayarkan kembali kepada desa; kegagalan panen akan menjadi tanggungan pemerintah; wajib tanam paksa dapat diganti dengan pencurahan tenaga untuk pengangkutan dan pekerjaan di pabrik.

Peraturan-peraturan tanam paksa dalam pelaksanaanya menimbulkan penyimpangan-penyimpangan yang memberatkan beban rakyat. Telah terjadi bahwa bagian yang ditanami untuk tanaman paksa melebihi dari 1/5, umpmanya sapai 1/3 atau 1/2, kadang-kadang sampai seluruh tanah desa itu. Pembayaran unuk setoran gula dibayar menurut apa yang dihasilkan pabrik dan tidak menurut jumlah tebu yang diserahkan. Banyak tenaga yang tidak dibayar. Kegagalan sering ditanggung oleh petani sendiri. Pekerjaan yang dilakukan di pabrik tiga kali lebih berat dari pekerjaan di sawah; jumlah pohon kopi diperbanyak secara sewenang-wenang, dari 250 sampai 1000, penanam kopi dikumpulkan dalam tempat konsentrasi; seringkali rakyat dipindahkan ke tempat-tempat yang jauh dari desannya; pekerjaan berat diperlukan untuk pengangkutan, mengolah hasil di pabrik, membuat jalan, saluran air dan jembatan yang kesemuanya tanpa upah.

Pada tahun 1848 terjadi kelaparan di Demak dan 1849 di Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran membuka mata pemerintah akan penderitaan rakyat yng diakibatkan tanam paksa.

G. Moedjanto (1987) menggambarkan culturestelsel seperti berikut : ” orang indonesia tetap sengsara, bahkan ada yang lebih sengsara dari pada masa VOC. Orang sunda biasa mengatakan ”orang lahir, kawin dan mati di ladang tom”. Sebagian besar rakyat indonesia tidak sempat mengurus ladangnya sendiri karena penyelewengan dalam melaksanakan cultuurestelsel, dan kesengsaraan makin bertambah besar karena adanya ”pemberian hadiah” (cultuureprocenten). Di antara rakyat yang tidak tahan, lari meninggalakan kampung halamannya dan mengganggu keamanan, tujuannya sama : indonesia dijadikan lembu perahan bagi Nederland”.

Rakyat indonesia begitu menderita namun keadaaan ini berbeda jauh dengan Belanda yang mendapat keuntungan luar biasa dari culturestelsel ini, hingga di negaranya Belanda mampu melakukan pembangunan di segala bidang, diantaranya :

1) Melunasi hutang negara

2) Membuat jalan-jalan kereta api dan pelabuhan-pelabuhan

3) Membangu pusat perindustrian, antara lain Twente

4) Lahirnya kaum modal yang kemudian justru menentang cultuurestelsel itu sendiri.

Pada akhirnya, banyak pihak termasuk dari orang Belanda sendiri yang mengkritik sistem culturestelsel ini. Mereka menganggap culturestelsel sangat menyengsarakan rakyat indonesia. Lalu Penghapusan culturestelsel dimulai dengan adanya revolusi perekonomian di perancis pada februari 1848. Dalam revolusi ini ajaran-ajaran liberal menang sehingga banyak ide-ide liberalisme makin berkumandang, termasuk juga menggema di Nederland. Ajaran liberalisme menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha bebas dan pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan negara atau pemerintah. Dengan begitu liberalisme menghendaki di hapuskannya culturestelsel. Di samping golongan liberal terdapat juga golongan humanis, yang juga menghendaki dihapuskannya culturestelsel. Mereka melihat betapa menyedihkannya kehidupan rakyat indonesia karena culturestelsel itu. Di antara mereka terdapat antara lain Baron Van Hoevel, yang membela rakyat indonesia dengan pidato-pidatonya di depan DPR Nederland. Dan yang lainnya adalah E Douwes Dekker yang memperjuangkan hak rakyat indonesia melalui bukunya yang berjudul Max Haveelar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Dalam buku ini beliau menceritakan secara terang-terangan betapa sengsaranya rakyat indonesia karena culturestelsel. Akhirnya Berkat golongan liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit cultuurestelsel di hapuskan. Dan pada tahun 1870 cultuurestelsel benar-benar dihapuskan.

Walaupun culturestelsel dihapuskan bukan berarti rakyat indonesia mencapai taraf hidup makmur, Namun dengan penghapusan itu penderitaan rakyat indonesia hanya sedikit di kurangi. Pemerintah Belanda tetap mempertahankan keadaan masyarakat indonesia pada tingkatan ekonomi rendah. Hal ini bertujuan agar mudah mencari buruh yang murah.

Politik kolonial yang bersifat mengeruk keuntungan semata ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Banyak kritikan muncul menanggapi sikap Belanda yang tidak memperhatikan kesejahteraan hidup rakyat pribumi. Hal ini terjadi sekitar akhir abad 19 . Salah satu kritik yang paling penting muncul dari seorang belanda yaitu C. Th. Van Deventer. Kritikannya di muat di majalah de Gids pada 1899 dengan judul Een Eereschuld (Debt of honour atau suatu utang Budi). Dalam karangannya itu antara lain dikemukakan bahwa kemakmuran negeri Belanda diperoleh karena kerja dan jasa orang indonesia. Karenanya Belanda berutang budi kepada rakyat Indonesia. Bangsa Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral haruslah membayar utang itu dengan menyelenggarakan trias : irigasi, emigrasi, (transmigrasi) dan edukasi. Hal ini membuat pemerintahan Belanda terbuka hatinya untuk lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat indonesia. Maka Belanda menanggapi kritik ini dengan mengemukakan gagasan pembaharuan seperti tercermin dalam pidato ratu Wilhelmina ketika naik tahta yang berjudul Ethische Ritching (haluan etika) atau Niew Keurs (haluan baru), ia berpidato dalam pembukaan parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:

1. irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian

2. emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi

3. memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Dalam pelaksanaan trias politika tersebut tak ada kesungguhan Belanda untuk benar-benar memakmurkan rakyat Indonesia. Program-program trias politika memang dijalankan, namun tetap saja ada niat lain di balik pelaksanaan program tersebut. Belanda tetap saja melakukan eksploitasi terhadap Indonesia. Jadi sebenarnya rencana pembaharuan tersebut hanya agar tidak banyak kritik yang muncul yang dapat menimbulkan perlawanan dari rakyat. Berikut contoh penyelewengan pelaksanaan trias politika:

A. kemakmuran yang lumayan berarti kemampuan (daya beli) hasil industri Nederland, misalnya tekstil.

B. Perbaikan kesehatan berarti lebih mudah memperoleh tenaga yang sehat, perhatian yang serius terhadap penyakit menular tidak bisa dihindarkan karena penyakit menular tidak mengenal ras diskriminasi.

C. Pengajaran yang dilaksanakan hanyalah pengajaran tingkat rendah, tujuannya ialah untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendahan, mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang bisa membaca. Upah mereka lebih murah daripada tenaga-tenaga kulit putih. Beberapa lama setelah dilaksanakannya ”Haluan Etika” ini dibuka juga sekolah-sekolah menengah dan kemudian semacam sekolah tinggi, tetapi bagi rakyat jelata tidak ada kemungkinan untuk dapat memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah ini karena mahalnya biaya. Lagi pula pembukaan sekolah-sekolah ini didasarkan akan kebutuhan pemerintah kolonial atau pengusaha, bukan kebutuhan pribumi.

D. Irigasi hanya dibangun di daerah-daerah di mana ada perkebunan yang mempunyai hak utama penggunaanya.

E. Pembangunan jalan dan kereta api berarti mempermudah pengawasan daerah pedalaman, jalan dan kereta api sangat diperlukan oleh perkebunan juga. Perlu diketahui bahwa tarif angkutan (bus dan kereta api) di masa penjajahan Belanda sangat mahal. Karena penumpang tidak pernah memberi keuntungan, keuntungan diperoleh karena angkutan barang.

F. Transmigrasi ke luar pulau jawa, khususnya ke sumatra, dimaksudkan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha di luar jawa memperoleh tenaga kerja.

G. Dalam mengatasi masalah kependudukan, berbagai negeri mengembangkan industri. Seharusnya di jawa di kembangkan juga industri itu, tetapi Belanda tidak melakukannya. Alasan resmi : Industri jawa akan mendesak kerajinan luar jawa. Tetapi sebenarnya Belanda khawatir industri di Nederland akan terdesak dan kelas buruh akan bangkit secara besar-besaran di Indonesia.

Di bidang ekonomi, pemerintah tidak memberi perlindungan atau bantuan kepada usahawan pribumi secara sungguh-sungguh. Di bidang politik, Belanda membatasi hak pribumi untuk menduduki jabatan-jabatan yang penting. Di bidang pendidikan, pengembangannya tidak didasarkan atas kebutuhan rakyat indonesia.

Jadi bisa dikatakan, Belanda tidak sepenuh hati menjalankan trias politika ini karena dalam setiap pelaksanaannya selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan Belanda.

diambil dari berbagai sumber.