Kamis, 12 Februari 2009

pengaruh politik etis terhadap pendidikan di indonesia


Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak negara yang pernah merasakan menjadi jajahan dari bangsa lain. Hal ini disebabkan indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, khususnya rempah-rempah yang pada waktu itu menjadi barang yang dibutuhkan di negara-negara Eropa. Pada mulanya mereka datang ke indonesia hanya untuk berdagang dan mendapatkan rempah-rempah, namun karena mereka melihat indonesia memiliki potensi alam yang besar yang dapat menghasilkan keuntungan maka niat mereka berubah menjadi ingin menguasai.

Bangsa penjajah yang datang pertama kali adalah Portugis yang menginjakkan kakinya di tanah air, tepatnya di Maluku pada tahun 1511 kemudian akhirnya meninggalkan indonesia pada 1576, sedangkan Belanda datang pertama kali ke indonesia lewat pelayaran yang dipimpin oleh Cornelis de houtman pada tahun 1595 dan meninggalkan indonesia 3,5 abad sesudahnya. Dari sela-sela pendudukan Belanda, Inggris menguasai indonesia dari tahun 1811 sampai tahun 1816. Kemudian kekuasaan kembali diserahkan ke Belanda sampai akhirnya indonesia diserahkan pada jepang tahun 1942. Hal ini disebabkan Belanda tak bisa melakukan perlawanan terhadap pasukan jepang yang datang ke indonesia dari berbagai wilayah.

Dari mulai negara Portugis, Belanda, Inggris, dan jepang. Maka Belanda adalah negara yang paling lama pernah menjajah Indonesia. Dalam masa penjajahan yang panjang tersebut negara kita menjadi objek eksploitasi besar-besaran, baik itu yang bersifat sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Eksploitasi tersebut memberi keuntungan bagi negara Belanda dan musibah bagi negara kita. Eksploitasi tersebut seperti monopoli yang dilakukan Belanda terhadap perdagangan rempah-rempah atau hasil bumi lainnya semisal kopi. Serta eksploitasi sumber daya manusia, yang sangat menyengsarakan rakyat indonesia adalah tanam paksa atau cultuur stelsel, yang pada kemudian hari sistem ini menjadi penyebab lahirnya Politik Etis.

Sistem culturestelsel ini di ciptakan oleh Gubernur Jendral Van den Bosch dan diterapkan selama 40 tahun, yakni dari tahun 1830 sampai 1870. sistem ini dijalankan untuk mengatasi keadaan keuangan Belanda yang memburuk sebagai akibat dari perang Belgia dan perang Diponegoro. Maka Belanda memanfaatkan pulau jawa yang memiliki potensi pertanian untuk menghasilkan produk-produk yang dapat dijual di pasaran dunia. Sistem pertanian tersebut dijalankan secara paksa. Rakyat pribumi diharuskan membayar pajaknya dalam bentuk hasil yang dapat di jual sebagai ekspor. Hasil pertanian tersebut dikirim ke Belanda untuk di jual ke pasaran dunia, hal ini dilakukan untuk mendapat kesan bahwa negara Belanda adalah pusat perdagangan hasil negara tropis.

Sistem ini dijalankan dengan aturan-aturan tertentu, yakni setiap desa harus menanami 1/5 dari tanahnya dengan jenis tanaman yang hasilnya dapat di ekspor dengan mendapat kebebasan bayar pajak tanah; Setiap kelebihan hasil tanaman dari jumlah pajak yang harus dibayar, dibayarkan kembali kepada desa; kegagalan panen akan menjadi tanggungan pemerintah; wajib tanam paksa dapat diganti dengan pencurahan tenaga untuk pengangkutan dan pekerjaan di pabrik.

Peraturan-peraturan tanam paksa dalam pelaksanaanya menimbulkan penyimpangan-penyimpangan yang memberatkan beban rakyat. Telah terjadi bahwa bagian yang ditanami untuk tanaman paksa melebihi dari 1/5, umpmanya sapai 1/3 atau 1/2, kadang-kadang sampai seluruh tanah desa itu. Pembayaran unuk setoran gula dibayar menurut apa yang dihasilkan pabrik dan tidak menurut jumlah tebu yang diserahkan. Banyak tenaga yang tidak dibayar. Kegagalan sering ditanggung oleh petani sendiri. Pekerjaan yang dilakukan di pabrik tiga kali lebih berat dari pekerjaan di sawah; jumlah pohon kopi diperbanyak secara sewenang-wenang, dari 250 sampai 1000, penanam kopi dikumpulkan dalam tempat konsentrasi; seringkali rakyat dipindahkan ke tempat-tempat yang jauh dari desannya; pekerjaan berat diperlukan untuk pengangkutan, mengolah hasil di pabrik, membuat jalan, saluran air dan jembatan yang kesemuanya tanpa upah.

Pada tahun 1848 terjadi kelaparan di Demak dan 1849 di Grobogan yang mengakibatkan kematian secara besar-besaran membuka mata pemerintah akan penderitaan rakyat yng diakibatkan tanam paksa.

G. Moedjanto (1987) menggambarkan culturestelsel seperti berikut : ” orang indonesia tetap sengsara, bahkan ada yang lebih sengsara dari pada masa VOC. Orang sunda biasa mengatakan ”orang lahir, kawin dan mati di ladang tom”. Sebagian besar rakyat indonesia tidak sempat mengurus ladangnya sendiri karena penyelewengan dalam melaksanakan cultuurestelsel, dan kesengsaraan makin bertambah besar karena adanya ”pemberian hadiah” (cultuureprocenten). Di antara rakyat yang tidak tahan, lari meninggalakan kampung halamannya dan mengganggu keamanan, tujuannya sama : indonesia dijadikan lembu perahan bagi Nederland”.

Rakyat indonesia begitu menderita namun keadaaan ini berbeda jauh dengan Belanda yang mendapat keuntungan luar biasa dari culturestelsel ini, hingga di negaranya Belanda mampu melakukan pembangunan di segala bidang, diantaranya :

1) Melunasi hutang negara

2) Membuat jalan-jalan kereta api dan pelabuhan-pelabuhan

3) Membangu pusat perindustrian, antara lain Twente

4) Lahirnya kaum modal yang kemudian justru menentang cultuurestelsel itu sendiri.

Pada akhirnya, banyak pihak termasuk dari orang Belanda sendiri yang mengkritik sistem culturestelsel ini. Mereka menganggap culturestelsel sangat menyengsarakan rakyat indonesia. Lalu Penghapusan culturestelsel dimulai dengan adanya revolusi perekonomian di perancis pada februari 1848. Dalam revolusi ini ajaran-ajaran liberal menang sehingga banyak ide-ide liberalisme makin berkumandang, termasuk juga menggema di Nederland. Ajaran liberalisme menghendaki dilaksanakannya usaha-usaha bebas dan pembebasan kegiatan ekonomi dari campur tangan negara atau pemerintah. Dengan begitu liberalisme menghendaki di hapuskannya culturestelsel. Di samping golongan liberal terdapat juga golongan humanis, yang juga menghendaki dihapuskannya culturestelsel. Mereka melihat betapa menyedihkannya kehidupan rakyat indonesia karena culturestelsel itu. Di antara mereka terdapat antara lain Baron Van Hoevel, yang membela rakyat indonesia dengan pidato-pidatonya di depan DPR Nederland. Dan yang lainnya adalah E Douwes Dekker yang memperjuangkan hak rakyat indonesia melalui bukunya yang berjudul Max Haveelar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda. Dalam buku ini beliau menceritakan secara terang-terangan betapa sengsaranya rakyat indonesia karena culturestelsel. Akhirnya Berkat golongan liberal dan golongan humanis, sedikit demi sedikit cultuurestelsel di hapuskan. Dan pada tahun 1870 cultuurestelsel benar-benar dihapuskan.

Walaupun culturestelsel dihapuskan bukan berarti rakyat indonesia mencapai taraf hidup makmur, Namun dengan penghapusan itu penderitaan rakyat indonesia hanya sedikit di kurangi. Pemerintah Belanda tetap mempertahankan keadaan masyarakat indonesia pada tingkatan ekonomi rendah. Hal ini bertujuan agar mudah mencari buruh yang murah.

Politik kolonial yang bersifat mengeruk keuntungan semata ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Banyak kritikan muncul menanggapi sikap Belanda yang tidak memperhatikan kesejahteraan hidup rakyat pribumi. Hal ini terjadi sekitar akhir abad 19 . Salah satu kritik yang paling penting muncul dari seorang belanda yaitu C. Th. Van Deventer. Kritikannya di muat di majalah de Gids pada 1899 dengan judul Een Eereschuld (Debt of honour atau suatu utang Budi). Dalam karangannya itu antara lain dikemukakan bahwa kemakmuran negeri Belanda diperoleh karena kerja dan jasa orang indonesia. Karenanya Belanda berutang budi kepada rakyat Indonesia. Bangsa Belanda sebagai bangsa yang maju dan bermoral haruslah membayar utang itu dengan menyelenggarakan trias : irigasi, emigrasi, (transmigrasi) dan edukasi. Hal ini membuat pemerintahan Belanda terbuka hatinya untuk lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat indonesia. Maka Belanda menanggapi kritik ini dengan mengemukakan gagasan pembaharuan seperti tercermin dalam pidato ratu Wilhelmina ketika naik tahta yang berjudul Ethische Ritching (haluan etika) atau Niew Keurs (haluan baru), ia berpidato dalam pembukaan parlemen Belanda bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:

1. irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian

2. emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi

3. memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Dalam pelaksanaan trias politika tersebut tak ada kesungguhan Belanda untuk benar-benar memakmurkan rakyat Indonesia. Program-program trias politika memang dijalankan, namun tetap saja ada niat lain di balik pelaksanaan program tersebut. Belanda tetap saja melakukan eksploitasi terhadap Indonesia. Jadi sebenarnya rencana pembaharuan tersebut hanya agar tidak banyak kritik yang muncul yang dapat menimbulkan perlawanan dari rakyat. Berikut contoh penyelewengan pelaksanaan trias politika:

A. kemakmuran yang lumayan berarti kemampuan (daya beli) hasil industri Nederland, misalnya tekstil.

B. Perbaikan kesehatan berarti lebih mudah memperoleh tenaga yang sehat, perhatian yang serius terhadap penyakit menular tidak bisa dihindarkan karena penyakit menular tidak mengenal ras diskriminasi.

C. Pengajaran yang dilaksanakan hanyalah pengajaran tingkat rendah, tujuannya ialah untuk memenuhi kebutuhan akan pegawai rendahan, mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang bisa membaca. Upah mereka lebih murah daripada tenaga-tenaga kulit putih. Beberapa lama setelah dilaksanakannya ”Haluan Etika” ini dibuka juga sekolah-sekolah menengah dan kemudian semacam sekolah tinggi, tetapi bagi rakyat jelata tidak ada kemungkinan untuk dapat memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah ini karena mahalnya biaya. Lagi pula pembukaan sekolah-sekolah ini didasarkan akan kebutuhan pemerintah kolonial atau pengusaha, bukan kebutuhan pribumi.

D. Irigasi hanya dibangun di daerah-daerah di mana ada perkebunan yang mempunyai hak utama penggunaanya.

E. Pembangunan jalan dan kereta api berarti mempermudah pengawasan daerah pedalaman, jalan dan kereta api sangat diperlukan oleh perkebunan juga. Perlu diketahui bahwa tarif angkutan (bus dan kereta api) di masa penjajahan Belanda sangat mahal. Karena penumpang tidak pernah memberi keuntungan, keuntungan diperoleh karena angkutan barang.

F. Transmigrasi ke luar pulau jawa, khususnya ke sumatra, dimaksudkan untuk mempermudah pengusaha-pengusaha di luar jawa memperoleh tenaga kerja.

G. Dalam mengatasi masalah kependudukan, berbagai negeri mengembangkan industri. Seharusnya di jawa di kembangkan juga industri itu, tetapi Belanda tidak melakukannya. Alasan resmi : Industri jawa akan mendesak kerajinan luar jawa. Tetapi sebenarnya Belanda khawatir industri di Nederland akan terdesak dan kelas buruh akan bangkit secara besar-besaran di Indonesia.

Di bidang ekonomi, pemerintah tidak memberi perlindungan atau bantuan kepada usahawan pribumi secara sungguh-sungguh. Di bidang politik, Belanda membatasi hak pribumi untuk menduduki jabatan-jabatan yang penting. Di bidang pendidikan, pengembangannya tidak didasarkan atas kebutuhan rakyat indonesia.

Jadi bisa dikatakan, Belanda tidak sepenuh hati menjalankan trias politika ini karena dalam setiap pelaksanaannya selalu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan Belanda.

diambil dari berbagai sumber.


aqidah ahlu sunnah waljama'ah

Ketahuilah, bahwasannya pada zaman Rasulullah umat islam merupakan umat yang satu yang tidak memiliki perbedaan dalam hal aqidah dan amal yang dapat menjadikan mereka terpecah belah dan bergolong-golongan. Hal tersebut seperti pujian Allah mengenai mereka yang termaktub dalam Al-qur’an. Ketika Rasulullah wafat Sayyidina Abu bakar menjadi khalifah menggantikan beliau lalu Sayyidina Abu bakar digantikan Sayyidina Umar bin khotob. Pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar ini tidak terlihat perpecahan kecuali sedikit dari orang-orang yang tidak dikenal. Kemudian pada masa khalifah Sayyidina Usman mulai tampak adanya perpecahan. Dan puncaknya, pada pemerintahan Sayyidina Ali sangat jelas adanya perpecahan pada umat islam. Mereka berbeda dalam pendapat dan kehendak. Suatu golongan tidak tunduk pada sayyidina Ali, Mereka menunjukkan perpecahan pada Sayyidina Ali dan mengadakan pemberontakan. Golongan tersebut dinamakan khawarij. Dan disebut khawarij bagi siapa saja orang yang menempuh jalan dan mengambil pendapat mereka. Di sisi lain ada suatu golongan yang sangat mengagungkan Sayyidina Ali hingga melewati batas. Golongan ini disebut syi’ah. Dan nama tersebut tetap bagi siapa saja yang mengikuti madzhab mereka sampai sekarang. Dari 2 golongan tersebut pecah lagi menjadi golongan yang lain. Tiap-tiap golongan tersebut menarik pengikut agar mengikuti pendapat dan madzhab mereka. Hal ini mengakibatkan umat islam terpecah menjadi golongan yang banyak. Tiap-tiap golongan menganggap dirinyalah yang benar. Keadaan tersebut berubah pada masa tabi’in. Pada masa ini terjadi perpecahan kecil dan muncullah golongan yang menyebut dirinya adil dan bertauhid. Mereka adalah mu’tazillah. Kemudian muncul suatu nama yang diperuntukkan bagi orang-orang yang menetapi sunnah nabi, jalan para sahabat dalam aqidah, amaliah jasmani dan akhlak-akhlak hati. Adapun orang-orang yang membahas mengenai hujah, dalil ’aqliyah, dalil naqliyah pada bidang aqidah mereka disebut Mutakallim atau ahli kalam. Sedangkan seseorang yang membahas mengenai ilmu-ilmu ibadah jasmani, muammalat, munakahat, dan berfatwa dalam memutuskan suatu hukum,dan lain-lain mereka disebut Fuqoha atau ahli fiqh. Seseorang yang membahas mengenai pengumpulan hadis-jadis nabi serta memilahnya antara yang shoheh dan tidak, mereka disebut Muhaditsin atau ahli hadis. Seseorang yang membahas mengenai amal-amal dhohir, kesucian hati dari akhlak tercela serta membiasakannya dengan akhlak mulia, mereka disebut sufiyyah atau ahli tasawwuf. Ibnu khaldun berkata dalam kitab Muqodimah beliau bahwa imu fiqh merupakan kesimpulan dari dalil-dalil syar’iyah. Di dalamnya banyak perbedaan yang tidak bisa dihindari dalam hal pengetahuan dan pandangan dari para mujtahid. Sehingga timbullah perbedaan yang luas dalam agama kita. Bagi orang yang taqlid mereka mengikuti pendapat yang benar menurut kehendak mereka. Kemudian masa tersebut berakhir setelah muncul empat imam madzhab yang mempunyai derajat luhur. Maka ditetapkan madzhab 4 tersebut menjadi dasar agama. Diketahui bahwa pada madzhab empat imam terdapat kesempurnaan mengenai masalah-masalah i’tiqod, hadis-hadis nabi, dan amalan-amalan hati. Hal tersebut menjadi jelas bagi orang yang memikirkan riwayat mereka. Mereka adalah orang yang disibukkan mempelajari dan mendalami ilmu fiqh, dikarenakan fiqh merupakan ilmu yang penting pada zaman mereka. Adapun bid’ah dan hawa nafsu dalam masalah i’tiqod merupakan penyakit hati yang ditemukan pada zaman mereka, namun tidak sampai menyebarkan keburukan di daerah-daerah. Setelah masa empat imam madzhab, perkara bid’ah semakin menjadi-jadi dan menyebarkan kerusakan di daerah-daerah. Maka untuk mengatasi hal tersebut, bangkitlah pemimpin agama dalam bidang aqidah dari golongan 4 madzhab. Mereka menolak bid’ah tersebut. Hingga sampai pada masa 2 imam aqidah yaitu Abu hasan al-asy’ari dan abu mansur al-maturidi R.A. Mereka dengan tegas menolak bid’ah terhadap tingkah laku nabi dan jejak para sahabat. Imam al-asy’ari mengikuti madzhab imam syafi’i R.A dan imam maturidi mengikuti madzhab imam hanifah R.A yang akan di jelaskan pada bab selanjutnya. Mereka mencapai kedudukan mulia di mata umat dan umat merasa cukup dengan mengikuti madzhab mereka. Sehingga umat menjadi 2 golongan aqidah yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah. Namun para cendekiawan menyebut mereka dengan Ahlusunnah waljama’ah untuk membedakan mereka dari golongan lain, yaitu mu’tazilah dan pelaku bid’ah. Golongan ahli hadis dan sufi sepakat dengan asy’ariyah dan maturidiyah dan mereka mengikuti golongan tersebut yaitu ahlusunnah waljama’ah.

Imam Romli berkata dalam syarah kitab Minhaj ”Pelaku bid’ah adalah seseorang yang mengingkari aqidah ahlusunnah.yaitu nabi, sahabat-sahabat beliau serta orang-orang sesudah mereka. Adapun yang dimaksud ahlisunnah pada zaman akhir adalah Imam Abu hasan al-asy’ari, Abu mansur al-maturidi serta pengikut mereka”. Dan berkata Imam Murtadho az-zabidi pada bab kedua dari muqodimah syarah kitab Qowa’idul Aqo’id dari kitab ihya ”Ketika disebut ahlusunnah waljama’ah maka yang dimaksud adalah pengikut asy’ari dan maturidi”. Imam khayali berkata dalam kitab khasyiyah beliau yang menjelaskan aqidah asy’ariyah ”mereka adalah ahlusunnah yang terkenal di daerah khurasan, irak, syam, dan di daerah lainnya. Selain di daerah itu kebanyakan adalah pengikut imam Maturidi”. Imam Kustuli berkata dalam kitab Hasyiah beliau ”Golongan ahlusunnah masyhur di daerah khurasan, irak, dan syam. Kebanyakan wilayah tersebut mengikuti aqidah imam Asy’ari. Imam asy;ari adalah orang yang pertama kali menolak paham Abu ali al-juba’i ( mu’tazilah) dan kembali pada sunnah-sunnah nabidan jalan para sahabat. Dan di daerah belakang sungai terdapat golongan maturidiyah pendirinya adalah abu mansur al-maturidi. Diantara 2 golongan tersebut terdapat perbedaan pada sebagian pokok-pokok agama seperti masalah takwin, istisna, dan iman orang yang taqlid. Kedua Golongan ini bukanlah ahli bid’ah dan sesat”. Imam As-subky berkata dalam syarah Aqidah Ibnu Hajib ”Ketahuilah bahwa ahlusunnah waljama’ah telah sepakatpada satu keyakinan dalam hal wajib, mubah, dan halal. Walaupun mereka berbeda dalam jalan dan dasar untuk mencapai keyakinan tersebut. Secara umum dalam golongan tersebut ditetapkan terdapat 3 golongan yaitu :

A. Ahli hadis, mereka berpegang teguh pada dalil sam’iyah yaitu kitab, sunnah, dan ijma’.

B. Ahli pikir, mereka adalah pengikut imam Asy’ari dan imam maturidi.Guru dari golongan Asy’ariyah adalah Imam abu hasan Asy’ari sedangkan guru dari pengikut hanafi adalah imam abu mansur al-maturidi. Mereka sepakat mengenai dasar-dasar ’aqliyah dalam memutuskan setiap perkara.

C. Ahli Wujdan dan kasyaf, mereka adalah ahli sufi dan dasar pemikiran mereka adalah ahli pikir dan hadis pada permulaanya dan ahli kasyf pada akhirnya.

Untuk diketahui, bahwasanya Imam abi hasan dan Abi mansur (semoga Allah membalas keduanya dengan islam yang baik) tidak memiliki pendapat yang bid’ah dan tidak memihak satu madzhab akan tetapi mereka menetapkan madzhab yang salaf yang mempertahankan tradisi-tradisi pengikut rasulullah SAW. Salah satu dari ke-2 imam tersebut mendalami nas-nas madzhab syafi’i dan hal-hal yang menunjukkan pada nas tersebut. Mereka berdua membandingkan dengan ahli bid’ah dan orang-orang yang melenceng sehingga mereka menang dan membuat umat mengikuti pendapat mereka. Ini adalah perang yang sesungguhnya, yang telah datang isyarahnya sejak dulu. Mereka mendasarkan pendapatnya pada pendapat ulama’ salaf serta Berpegang teguh pada jalan ulama’ salaf, hujah, dan petunjuk –petunjuk ulama’ salaf. Maka jadilah orang mengikuti jalan tersebut dan dalil-dalilnya dinamakan Asy’ariyah dan Maturidiyah.Syekh ’Izzu ibnu salam berkata : ”sesungguhnya ’aqidah Asy’ariyah disepakati oleh ulama’ pengikut Imam syafi’i, Maliki, dan Hanafi serta pembesar-pembesar madzhab hambali, serta sepakat pula ulama-ulama’ madzhab maliki yang sezaman dengan syekh Izzu bin salam yaitu Abu umar bin hajib, Syekh Jamaluddin Al-husairi, serta Ataqiyyu subky juga mengikuti aqidahnya imam Asyari seperti yang di nukil oleh putra beliau Taj. Dan dalam perkataan Syaikh Al-mayoriqi yang terdahulu disebutkan bahwa Ahlusunnah dari madzhab maliki, syafi’i dan sebagian besar madzhab hanafi menolak dengan lisan Abi hasan asy’ari dan berhujah dengan hujahnya. Lalu beliau berkata ” Abu hasan bukanlah mutakallim yang pertama kali mendasarkan pemikirannya pada ahlusunnah, namun ia telah menapaki jalan selain ahlusunnah atau untuk menolong suatu madzhab yang telah dikenal, maka abu hasan menambah hujah dan keterangan dalam madzhab tersebut.. Abu hasan tidak mengeluarkan ucapan yang menyebabkan bid’ah, serta tidak mendirikan suatu madzhab tersendiri.Orang-orang madinah menganut Madzhab maliki dan seseorang yang sama dengan madzhab penduduk madinah dinamakan pengikut maliki. Imam malik mendasarkan pemikirannya pada sunnah-sunah orang terdahulu dan banyak dari pengikutnya menambah keterangan yang memperluas madzhab beliau. At-taj asubky berkata” pengikut imam malik adalah orang-orang yang khusus mengikuti pendapat imam asyari ”. Ibnu asakir berkata dalam kitabnya at-tabyin ”abu abbas adalah penganut madzhab hanafi, Qodi ’askari mengatahui sifat-sifat beliau. Beliau merupakan ulama’ dari madzhab hanafi dan termasuk pendahulu dalam ilmu kalam. Ibnu asakir mengisahkan tentang perkataan-perkataan beliau, diantaranya ” saya menemukan kitab imam asy’ari yang banyak membahas mengenai bidang ini (yakni ushuluddin) jumlahnya sekitar 200 kitab. Dan kitab mujaz al-kabir memuat secara umum dari kitab-kitab beliau. Imam asy’ari juga mengarang kitab yang banyak mengkoreksi aliran mu’tazilah. pada awalnya beliau meyakini madzhab mu’tazilah, kemudian Allah memberi petujuk mengenai kesesatan aliran mu’tazilah. Maka beliau menjelaskan keyakinan-keyakinan dalam madzhab tersebut dan beliau juga menyusun kitab yang melawan kitab yang disusun mu’tazilah, dan kebanyakan penganut madzhab imam syafi’i mengambil pendapat beliau dan menetapkannya sebagi madzhab asy’ariyah. Pengikut imam syafi’i juga mengarang kitab yang berisi kesepakatan terhadap madzhab asyariyah”. Imam Taj as-subki berkata ” saya mendengar Syaikh Al-walid berkata mengenai aqidah Imam tohawi yakni yang diyakini imam asy’ari dan tidak berbeda dengannya kecuali dalam 3 masalah ” saya berkata ” wafatnya imam Tohawi di mesir pada tahun 331, yakni bertepatan dengan masanya Abu hasan al-asyari dan abu mansur al-maturidi.saya berkata ”wafatnya imam asy’ari pada tahun 314, dan imam maturidi wafat pad tahun 333.Wallahu a’lam. Kemudian Taj assubky berkata ”saya lebih tahu bahwa pengikut madzhab maliki seluruhnya adalah pengikut imam asy’ari tidak terkecuali, adapun madzhab syafi’i biasanya mengikuti madzhab asy’ari kecuali seseorang orang yang mengikuti pendapat mu’tazilah. Dan pengikut imam hanbal kebanyakan dari pembesar-pembesar madzhab ini adalah pengikut imam asy’ari tidak terkecuali, kecuali orang yang mengikuti pemikiran ahli jism sedangkan yang seperti ini bukanlah termasuk pengikut imam hanbal”.